Babad Dipanegara adalah
naskah kuno yang berisi kisah hidup Pangeran Dipanegara (Bahasa Jawa:
"Diponegoro") yang hidup pada tahun 1785-1855. Naskah itu ditulis
sendiri oleh Dipanegara ketika ia diasingkan Belanda ke Sulawesi Utara
pada tahun 1831.
Babad ini merupakan biografi awal pada masa kesusastraan Jawa modern pada
masanya.
Dan Babad Diponegoro ini juga disebut naskah kuno
yang merupakan tulisan tangan Pangeran Diponegoro saat Belanda mengasingkannya
ke Manado, Sulawesi Utara, pada Mei 1831 hingga Februari 1832.
BABAT DIPONEGORO DAN HUBUNGANNYA
DENGAN KONSEP RATU ADIL
Konsep ratu adil akan diikuti
dengan konsep Milenarianisme. Milenarianisme adalah suatu keyakinan oleh
suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi
besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah kearah yang
positif (atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas).
Kelompok-kelompok milenarian
biasanya mengklaim bahwa masyarakat masa kini dan para penguasanya korup, tidak
adil, atau menyimpang. Karena itu mereka percaya bahwa mereka akan segera
dihancurkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Sifat yang berbahaya dari status
quo ini selalu dianggap tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan dramatis yang
telah diharapkan.
Konsep Milenarisme ditemukan
Dalam alam pikiran Jawa yang mereka kenal dengan Ratu Adil. Dalam mitos
Ratu Adil terdapat ramalan yang menyebutkan bahwa penderitaan yang dialami,
seperti peningkatan beban pajak, harga hasil bumi merosot tajam, hukum dan
pengadilan tidak berjalan semestinya, syariat Tuhan tidak lagi dijalankan,
banyak orang akan tersingkir dan orang jahat akan berkuasa, pemerintahan tidak
berjalan dengan baik dan rakyat semakin sengsara, banyak terjadi bencana alam,
dan krisis-krisis sosial lainnya, akan hilang dengan datangnya Ratu Adil.
Dengan demikian, Ratu Adil, dalam tradisi Jawa lebih bersifat politis, meskipun
ada sedikit sebagai gerakan mistis (kebatinan). Mitos Ratu Adil ini terwujud
dalam bentuk tampilnya seorang pemimpin, yang dianggap dapat menjadi tokoh yang
menyelesaikan permasalahan atau krisis yang melanda. Zaman edan tidak mungkin
diubah dengan cara lain kecuali menanti tokoh Ratu Adil tersebut.
Ratu Adil selalu mempribadi pada
sosok individu. Beberapa sejarawan Belanda bahkan menggambarkan Ratu Adil
sebagai pribadi yang digdaya atau paham dalam segala hal: jiwa nasionalisme,
intelektualisme, daya religius yang serba briliyan dan perfeksionistis.
Dr. G.W.J Drewes dalam
tulisannya De drie javaansche Goeroe’s (1925) menyebutkan bahwa Pangeran
Diponegoro juga dipercayai rakyat sebagai penjelmaan dari Ratu Adil. Legitimasi
politis mitos Ratu Adil memang memiliki dampak positif jika digunakan untuk
tujuan mulia.
Hal ini pernah ditangkap secara
arif oleh pangeran Diponegoro. Untuk menguatkan bahwa seolah-olah dirinya
adalah penjelmaan Ratu Adil, pangeran Diponegoro bahkan mengisahkan dalam
Babad-nya bahwa dirinya memperoleh ilham untuk meneruskan peperangan setelah
bertemu dengan apa yang disebutnya Ratu Adil. Sang pangeran telah ditakdirkan
untuk berperang dalam merebut tanah Jawa. Legitimasi mitos ini pada akhirnya
berhasil menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah Belanda dengan nama perang
Jawi. Pemberontakan paling besar dan paling lama penduduk pribumi atas
pemerintahan belanda di Jawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar