Kehadiran Ahmadiyah di
Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah
Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman
resmi Ahmadiyah, www.alislam.org,
ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan.
Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk
bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke
Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak
saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.
Ahmadiyah berhasil meraih
pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza
Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons dari
beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian kelompok
muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui kenabian Mirza
Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW sebagai nabi
terakhir.
Kontroversi keberadaan
Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan
penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada tanggal
28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka
untuk membahas Ahmadiyah. Ada
sekitar sepuluh organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis),
Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga
gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang
antusias. Sejumlah surat
kabar ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang
Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli
Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya
acara.
Acara debat itu dihadiri oleh
Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad
Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk sebagai
moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan peraturan kepada para
penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan
menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan Ahmadiyah.
Baik pada malam pertama dan
kedua panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan
kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun
mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada
malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton. Karena sejak awal moderator
telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan, acara debat pun
berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada yang
saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.
Keberadaan Ahmadiyah di
Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan
sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu
adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang
bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di
Ende. Untuk menepis kasus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah
artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.
Dalam artikelnya itu Sukarno
menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaah Ahmadiyah. Jadi mustahil saya
mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Sukarno menampik keras
tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat
dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal
yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa
pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, pada umumnya ada
mereka punya features yang saya setujui: mereka punya
rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan, mereka punya modernisme,
mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja
dulu, mereka punya systematische
aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa
pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka
punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada
imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah
dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya
tulisan-tulisan yang rasionel, modern, dan logis itu.
Sukarno menempatkan dirinya
pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah
yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula
yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal pengeramatan yang berlebihan
pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun antara Sukarno dengan
Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak berbicara santai
dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah
pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.
Menurut Iskandar Zulkarnain,
penulis buku Gerakan
Ahmadiyah di Indonesia, tiga tahun setelah pertemuan itu,
pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah
Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri
tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik
Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta
perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan
Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap
eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama
RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup
bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.
Keputusan itu merupakan
pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia.
Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi yang
memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan lainnya.
Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus wajib
menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.
Jamaah Ahmadiyah sendiri
terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore.
Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di
Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980 mengatakan Ahmadiyah Qadian sebagai aliran
sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar
tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.
Dari Ensiklopedi Islam yang
disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai Prof
Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya
penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebutkan
beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir
dan Takdir-Nya. Dan golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW
adalah nabi penutup. Namun Nasution dan Tim Penyusun mereka menyempitkan
artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu
nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada
masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang
tak kunjung usai.
Perselisihan penafsiran itu
sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya
tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan
pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota
Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan
tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde
Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa
gangguan kekerasan.
Di era pemerintah Gus Dur
jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang
terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan
berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami
kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan
di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pada hari-hari terakhir ini
Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok
memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah
sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di
antara dua pilihan,membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan
ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat
beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun
mayoritas