Sabtu, 23 November 2013

BABAT DIPONEGORO DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONSEP RATU ADIL



Babad Dipanegara adalah naskah kuno yang berisi kisah hidup Pangeran Dipanegara (Bahasa Jawa: "Diponegoro") yang hidup pada tahun 1785-1855. Naskah itu ditulis sendiri oleh Dipanegara ketika ia diasingkan Belanda ke Sulawesi Utara pada tahun 1831. Babad ini merupakan biografi awal pada masa kesusastraan Jawa modern pada masanya.

Dan Babad Diponegoro ini juga disebut naskah kuno yang merupakan tulisan tangan Pangeran Diponegoro saat Belanda mengasingkannya ke Manado, Sulawesi Utara, pada Mei 1831 hingga Februari 1832.


BABAT DIPONEGORO DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONSEP RATU ADIL
Konsep ratu adil akan diikuti dengan konsep Milenarianisme. Milenarianisme adalah suatu keyakinan oleh suatu kelompok atau gerakan keagamaan, sosial, atau politik tentang suatu transformasi besar dalam masyarakat dan setelah itu segala sesuatu akan berubah kearah yang positif (atau kadang-kadang negatif atau tidak jelas).
Kelompok-kelompok milenarian biasanya mengklaim bahwa masyarakat masa kini dan para penguasanya korup, tidak adil, atau menyimpang. Karena itu mereka percaya bahwa mereka akan segera dihancurkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Sifat yang berbahaya dari status quo ini selalu dianggap tidak dapat diubah tanpa adanya perubahan dramatis yang telah diharapkan.
Konsep Milenarisme ditemukan  Dalam alam pikiran Jawa yang mereka kenal dengan Ratu Adil. Dalam mitos Ratu Adil terdapat ramalan yang menyebutkan bahwa penderitaan yang dialami, seperti peningkatan beban pajak, harga hasil bumi merosot tajam, hukum dan pengadilan tidak berjalan semestinya, syariat Tuhan tidak lagi dijalankan, banyak orang akan tersingkir dan orang jahat akan berkuasa, pemerintahan tidak berjalan dengan baik dan rakyat semakin sengsara, banyak terjadi bencana alam, dan krisis-krisis sosial lainnya, akan hilang dengan datangnya Ratu Adil. Dengan demikian, Ratu Adil, dalam tradisi Jawa lebih bersifat politis, meskipun ada sedikit sebagai gerakan mistis (kebatinan). Mitos Ratu Adil ini terwujud dalam bentuk tampilnya seorang pemimpin, yang dianggap dapat menjadi tokoh yang menyelesaikan permasalahan atau krisis yang melanda. Zaman edan tidak mungkin diubah dengan cara lain kecuali menanti tokoh Ratu Adil tersebut.
Ratu Adil selalu mempribadi pada sosok individu. Beberapa sejarawan Belanda bahkan menggambarkan Ratu Adil sebagai pribadi yang digdaya atau paham dalam segala hal: jiwa nasionalisme, intelektualisme, daya religius yang serba briliyan dan perfeksionistis.
Dr. G.W.J Drewes dalam tulisannya De drie javaansche Goeroe’s (1925) menyebutkan bahwa Pangeran Diponegoro juga dipercayai rakyat sebagai penjelmaan dari Ratu Adil. Legitimasi politis mitos Ratu Adil memang memiliki dampak positif jika digunakan untuk tujuan mulia.
Hal ini pernah ditangkap secara arif oleh pangeran Diponegoro. Untuk menguatkan bahwa seolah-olah dirinya adalah penjelmaan Ratu Adil, pangeran Diponegoro bahkan mengisahkan dalam Babad-nya bahwa dirinya memperoleh ilham untuk meneruskan peperangan setelah bertemu dengan apa yang disebutnya Ratu Adil. Sang pangeran telah ditakdirkan untuk berperang dalam merebut tanah Jawa. Legitimasi mitos ini pada akhirnya berhasil menggerakkan rakyat untuk melawan penjajah Belanda dengan nama perang Jawi. Pemberontakan paling besar dan paling lama penduduk pribumi atas pemerintahan belanda di Jawa.

Minggu, 19 Mei 2013

MARSINAH DAN POTRET PERLAWANAN BURUH TERHADAP PEMERINTAHAN ORDE BARU




Marsinah lahir 10 April 1969 – meninggal 8 Mei 1993 pada umur 24 tahun adalah seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Hasil otopsi menyimpulkan bahwa Marsinah di bunuh akibat penganiayaan berat.
Awal tahun 1993, Gubernur KDH TK I Jawa Timur mengeluarkan surat edaran No. 50/Th. 1992 yang berisi himbauan kepada pengusaha agar menaikkan kesejahteraan karyawannya dengan memberikan kenaikan gaji sebesar 20% gaji pokok. Himbauan tersebut tentunya disambut dengan senang hati oleh karyawan, namun di sisi pengusaha berarti tambahannya beban pengeluaran perusahaan. Pada pertengahan April 1993, Karyawan PT. Catur Putera Surya (PT. CPS) Porong membahas Surat Edaran tersebut dengan resah. Akhirnya, karyawan PT. CPS memutuskan untuk unjuk rasa tanggal 3 dan 4 Mei 1993 menuntut kenaikan upah dari Rp 1700 menjadi Rp 2250, karena pada saat itu hak yang dimiliki oleh para buruh tidak didengarkan oleh pemerintah masa orde baru tersebut.
Sedagkan Marsinah sendiri adalah salah seorang karyawati PT. Catur Putera Surya yang aktif dalam aksi unjuk rasa buruh. Keterlibatan Marsinah dalam aksi unjuk rasa tersebut antara lain terlibat dalam rapat yang membahas rencana unjuk rasa pada tanggal 2 Mei 1993 di Tanggul Angin Sidoarjo. Pada tanggal 3 Mei 1993, para buruh mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat turun tangan mencegah aksi buruh. Dan tanggal 4 Mei 1993, para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Sampai dengan tanggal 5 Mei 1993, Marsinah masih aktif bersama rekan-rekannya dalam kegiatan unjuk rasa dan perundingan-perundingan. Marsinah menjadi salah seorang dari 15 orang perwakilan karyawan yang melakukan perundingan dengan pihak perusahaan. Siang hari tanggal 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja. Marsinah bahkan sempat mendatangi Kodim Sidoarjo untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya yang sebelumnya dipanggil pihak Kodim. Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Mulai tanggal 6,7,8, keberadaan Marsinah tidak diketahui oleh rekan-rekannya sampai akhirnya ditemukan telah menjadi mayat pada tanggal 8 Mei 1993.
Dan sampai saat ini Marsinah adalah potret pejuang bagi kaum buruh saat ini. Perjuangan Marsinah, adalah apa yang kaum buruh perjuangkan hingga hari ini. Ingatan rakyat Indonesia terhadap tak akan pernah hilang. Tepat hari ini 8 Mei, kematian Marsinah telah menyalakan obor perjuangan kaum buruh di Indonesia, khususnya buruh perempuan. Patutlah, Marsinah diberi penghormatan yang setinggi-tingginya terhadap apa yang telah ia abdikan atas nama buruh yang ditinhdas.


Sabtu, 04 Mei 2013

AHMADIYYAH & KONTROVERSINYA PADA MASA PERGERAKAN NASIONAL





Kehadiran Ahmadiyah di Indonesia tak terlepas dari peran tiga pemuda dari Sumatera Thawalib, sekolah Islam modern pertama di Indonesia, yang merantau ke India. Seperti dikutip dari laman resmi Ahmadiyah, www.alislam.org, ketiga pemuda itu adalah Abubakar Ayyub, Ahmad Nuruddin dan Zaini Dahlan. Kedatangan mereka kemudian disusul oleh 20 pemuda Thawalib lainnya untuk bergabung dengan jamaah Ahmadiyah. Pada 1925 Ahmadiyah mengirim Rahmat Ali ke Hindia Belanda. Ahmadiyah resmi menjadi organisasi keagamaan di Padang pada 1926. Sejak saat itulah Ahmadiyah mulai menyebarkan pengaruhnya di Indonesia.
Ahmadiyah berhasil meraih pengikut dari kalangan terdidik yang bisa dengan cepat menerima ajarah Mirza Ghulam Ahmad. Namun demikian masuknya Ahmadiyah ke Indonesia menuai respons dari beberapa kalangan. Perdebatan pun terjadi di mana-mana. Sebagian kelompok muslim lain menganggap pengikut Ahmadiyah sesat karena mengakui kenabian Mirza Ghulam Ahmad yang sama artinya menafikan bahwa Muhammad SAW sebagai nabi terakhir.
Kontroversi keberadaan Ahmadiyah tak serta-merta berakhir dengan kekerasan. Perbedaan pendapat dan penafsiran itu malah dibawa ke meja dialog yang sangat intelek. Pada tanggal 28-29 September 1933 beberapa organisasi Islam menyelenggarakan debat terbuka untuk membahas Ahmadiyah. Ada sekitar sepuluh organisasi yang hadir antara lain Persatuan Islam (Persis), Nahdlatul Ulama dan Al-Irsyad. Perdebatan itu menarik minat masyarakat sehingga gedung pertemuan di Gang Kenari, Salemba itu disesaki oleh 1800 orang yang antusias. Sejumlah surat kabar ternama seperti Sipatahunan, Sin Po, Pemandangan dan Bintang Timur meliput jalannya perdebatan. Dr. Pijper, kelak menjadi ahli Islam, datang sebagai wakil pemerintah Belanda untuk menyaksikan jalannya acara.
Acara debat itu dihadiri oleh Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub yang mewakili Ahmadiyah berhadapan dengan Ahmad Hassan, pendiri Persis. Ahmad Sarido dari komite Munazarah ditunjuk sebagai moderatornya. Sebelum debat dimulai moderator mengumumkan peraturan kepada para penonton untuk tidak bersorak-sorai, menghujat, meneriakkan kebencian dan menyindir para pembicara, khususnya dari perwakilan Ahmadiyah.
Baik pada malam pertama dan kedua panelis mengajukan argumennya masing-masing. Ahmad Hassan mempertanyakan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sementara itu Rahmat Ali dan Abubakar Ayyub pun mengajukan argumentasi untuk mendukung pendiriannya di Ahmadiyah. Acara pada malam kedua dibanjiri sekitar 2000 orang penonton. Karena sejak awal moderator telah mengingatkan mereka untuk tidak membuat kegaduhan, acara debat pun berakhir damai. Kendati para panelis berkeras pada pendiriannya, tak ada yang saling memaksa untuk mengubah pendapatnya dan keyakinannya masing-masing.

Keberadaan Ahmadiyah di Indonesia menjadi perbicangan luas. Bahkan Sukarno pun sempat digosipkan sebagai pengikut Ahmadiyah. Menurut pengakuannya, penyebar gosip miring itu adalah dinas rahasia kolonial atau PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang bertujuan mendiskreditkan Sukarno yang saat itu berada di pengasingannya di Ende. Untuk menepis kasus itu, pada 25 November 1935 Sukarno menulis sebuah artikel berjudul “Tidak Percaya Bahwa Mirza Gulam Ahmad Adalah Nabi”.
Dalam artikelnya itu Sukarno menolak tuduhan bahwa dia adalah jemaah Ahmadiyah. Jadi mustahil saya mendirikan cabang Ahmadiah atau menjadi propagandisnya. Sukarno menampik keras tuduhan itu. Dia lebih suka disebut sebagai penganut Islam yang tak terikat dengan satu golongan apa pun. Kendati demikian Sukarno mengagumi beberapa hal yang terdapat di dalam ajaran Ahmadiyah. Mengenai Ahmadiah, walaupun beberapa pasal di dalam mereka punya visi saya tolak dengan yakin, pada umumnya ada mereka punya features yang saya setujui: mereka punya rationalisme, mereka punya kelebaran penglihatan, mereka punya modernisme, mereka punya hati-hati terhadap kepada hadist, mereka punya striven Qur’an saja dulu, mereka punya systematische aannemelijk maken van den Islam. Oleh karena itu, walaupun ada beberapa pasal dari Ahmadiah tidak saya setujui dan malahan saya tolak, misalnya mereka punya ‘pengeramatan’ kepada Mirza Gulam Ahmad, dan kecintaan kepada imperialisme Inggris, toh saya merasa wajib berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasionel, modern, dan logis itu.
Sukarno menempatkan dirinya pada posisi yang relatif netral terhadap Ahmadiyah. Ada beberapa soal di dalam ajaran Ahmadiyah yang dia terima sebagai sebuah ilmu pengetahuan yang rasionil. Tapi ada pula yang dia tolak mentah-mentah, terutama sekali soal pengeramatan yang berlebihan pada sosok Mirza Gulam Ahmad. Relasi yang terbangun antara Sukarno dengan Ahmadiyah bisa dilihat dari selembar foto di mana dia tampak berbicara santai dengan dua tokoh Ahmadiyah, yakni Said Syah Muhammad dan Hafiz Quadratullah pada resepsi perayaan kemerdekaan Indonesia ke-5 tahun 1950.
Menurut Iskandar Zulkarnain, penulis buku Gerakan Ahmadiyah di Indonesia,  tiga tahun setelah pertemuan itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan keputusan tentang pengesahan jamaah Ahmadiyah sebagai organisasi keagamaan yang tercantum dalam ketetapan menteri tanggal 13 Maret 1953 No. JA.5/23/13 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia No. 22, 31 Maret 1953. Ketetapan tersebut kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara No. 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara No. 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan terhadap eksistensi Ahmadiyah diperkuat pernyataan Departemen Agama RI tanggal 11 Maret 1968 tentang hak hidup bagi seluruh organisasi keagamaan di Indonesia.
Keputusan itu merupakan pengakuan pemerintah terhadap eksistensi warga Ahmadiyah di wilayah Republik Indonesia. Pengesahan tersebut sekaligus menempatkan Ahmadiyah sebagai organisasi yang memilki hak dan kewajiban yang setara dengan organisasi keagamaan lainnya. Ahmadiyah berhak mendapatkan perlindungan dari pemerintah sekaligus wajib menaati peraturan yang berlaku di Republik Indonesia.
Jamaah Ahmadiyah sendiri terbagi dua aliran, Qadian dan Lahore. Banyak pendapat yang mengatakan aliran Qadian menyimpang dari ajaran Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Musyawarah Nasional II yang berlangsung di Jakarta sejak 26 Mei–1 Juni 1980 mengatakan Ahmadiyah Qadian sebagai aliran sesat. Namun pada era Orde Baru, kendati dinyatakan sesat, tak pernah terdengar tindak kekerasan yang menyerang warga Ahmadiyah.
Dari Ensiklopedi Islam yang disusun oleh Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta yang diketuai Prof Dr Harun Nasution disebutkan bahwa kedua golongan Ahmadiyah itu tetap percaya penuh pada Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW. Mereka juga disebutkan beriman kepada Allah SWT, para malaikat-Nya, kitab-Nya, Rasul-Nya, hari akhir dan Takdir-Nya. Dan golongan Ahmadiyah itu percaya bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi penutup. Namun Nasution dan Tim Penyusun mereka menyempitkan artinya menjadi penutup nabi-nabi yang membawa syari’at. Sementara itu nabi-nabi yang tidak membawa syari’at masih dibutuhkan kehadirannya pada masa-masa sesudah Nabi Muhammad SAW. Rupanya itulah pangkal perselisihan yang tak kunjung usai.
Perselisihan penafsiran itu sempat berujung kepada tindak kekerasan semasa Orde Lama. Pelaku kekerasannya tak lain Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang melancarkan pemberontakan di bawah SM Kartosuwirjo. Pada 1950-an, beberapa orang anggota Ahmadiyah dibunuh. Pemberontakan baru dapat dipadamkan oleh pemerintah dengan tertangkapnya SM Kartosuwirjo pada 14 Juni 1962. Selanjutnya pada masa Orde Lama Ahmadiyah relatif bisa menjalankan kegiatannya dengan tenang tanpa gangguan kekerasan.
Di era pemerintah Gus Dur jamaah Ahmadiyah semakin menemukan momentum kebebasannya. Presiden yang terkenal demokratis dan menjunjung keberagaman itu membuka keran kebebasan berekspresi dan menjalankan ajaran agamanya tanpa perlu merasa takut mengalami kekerasan. Sejumlah kegiatan ilmiah yang membahas Ahmadiyah pun diselenggarakan di kampus-kampus, seperti yang pernah diselenggarakan pada 24 Juli 2000 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Pada hari-hari terakhir ini Ahmadiyah mengalami teror kekerasan. Korban tewas berjatuhan. Beberapa kelompok memaksakan kehendaknya agar Ahmadiyah dibubarkan. Ada baiknya pemerintah sekarang belajar dari sejarah pada era Sukarno yang telah memilih satu di antara dua pilihan,membiarkan DI/TII memberontak untuk kemudian menggantikan ideologi Pancasila atau menghentikan perlawanan mereka sehingga semua umat beragama memiliki hak untuk hidup setara dengan umat lainnya, baik minoritas maupun mayoritas